No.1
Pancasila Sebagai Sumber Nilai
Pancasila memuat nilai – nilai luhur untuk dapat
menjadi dasar Negara. Ada 3 nilai yang terdapat dalam pancasila :
1. Nilai Dasar
adalah asas-asas yang berasal dari nilai budaya bangsa Indonesia yang bersifat abstrak
dan umum, relatif tidak berubah namun maknanya selalu dapat disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Artinya nilai dasar itu bisa terus menerus ditafsirkan
ulang baik makna maupun implikasinya. Melalui penafsiran ulang itulah akan
didapat nilai baru yang lebih operasional sesuai dengan tantangan zaman. Adapun nilai
dasar yang terkandung dalam Pancasila adalah Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan,
Kerakyatan (musyawarah-mufakat), dan Keadilan.
2. Nilai
Instrumental, yaitu penjabaran dari nilai dasar yang berbentuk norma
sosial dan norma hukum. Seperti UUD 1945, Tap MPR, UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers, UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik, UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, dll.
3. Nilai Praksis, adalah
nilai yang dilaksanakan dalam kenyataan hidup sehari-hari
yang menandakan apakah nilai dasar atau instrumental masih hidup di tengah
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Contoh nilai
praksis seperti saling menghormati, toleransi, kerja sama, kerukunan, bergotong
royong, menghargai, dll.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Kata paradigma
berasal dari bahasa inggris “paradigm” yang berarti
model, pola, atau contoh. Paradigma juga berarti suatu gugusan sistem pemikiran,
cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara pemecahan
masalah yang dianut suatu masyarakat tertentu. Pancasila adalah
paradigma, sebab Pancasila dijadikan landasan, acuan, metode, nilai, dan tujuan
yang ingin dicapai dalam program pembangunan.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan, artinya
pancasila berisi anggapan-anggapan dasar yang merupakan kerangka keyakinan yang
berfungsi sebagai acuan, pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan pemamfaatan hasil-hasil pembangunan nasional. Misalnya :
a. Pembangunan
tidak boleh bersifat pragmatis, yaitu
pembangunan itu tidak hanya mementingkan tindakan nyata dan mengabaikan
pertimbangan etis.
b. Pembangunan
tidak boleh bersifat ideologis, yaitu secara
mutlak melayani Ideologi tertentu dan mengabaikan manusia nyata.
c. Pembangunan
harus menghormati HAM, yaitu pembangunan tidak boleh mengorbankan manusia nyata melainkan
menghormati harkat dan martabat bangsa.
d. Pembangunan
dilaksanakan secara demokratis, artinya melibatkan masyarakat sebagai tujuan pembangunan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut kebutuhan mereka.
e. Pembangunan
diperioritaskan pada penciptaan taraf minimum keadilan sosial, yaitu mengutamakan mereka yang paling lemah untuk
menghapuskan kemiskinan struktural. Kemiskinan
struktural, adalah kemiskinan yang timbul bukan akibat malasnya
individu atau warga Negara, melainkan diakibatkan dengan adanya
struktur-struktur sosial yang tidak adil.
No.2
a.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan sumber hukum dasar
Nasional ( Indonesia ) yang dijabarkan
lebih lanjut kedalam 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 .
b.
Meliputi suasana kebatinan UUD 1945 .
c.
Mewujudkan cita-cita hukum bagai hukum dasar negara, baik hukum dasar
tertulis maupun tidak tertulis .
d.
Mengandung norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan
pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang tercantum dalam 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 yang
bunyinya sebagai berikut : “ … Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab . “
e.
Merupakan sumber semangat bagi Undang – undang Dasar 1945,
penyelenggaraan negara , dan para pelaksana pemerintahan .
No.3
Makna Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai
dasar pancasila secara normatif
menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur
segenap aspek pembangunan nasional
yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan
penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi
nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif
bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan
organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila
menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam
melaksanakan pembangunan.
Pancasila
Sebagai Paradigma Pembangunan di Bidang Politik
Warga Indonesia sebagai warga negara harus
ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar sebagai objek politik.
Karena pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari
manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada
rakyat. Kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma
adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasarkan hal tersebut, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas
kerakyatan yaitu terletak pada sila ke IV Pancasila.
Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut
sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan,
moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik
dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral
tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
No.4
Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan di Bidang Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan
ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral
daripada pancasila. Secara khusus,
sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar
moralitas ketuhanan yaitu pada sila ke I
Pancasila dan kemanusiaan yaitu pada sila ke II
Pancasila. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia
sebagai subjek. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan.
Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dan
humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem
ekonomi yang baik adalah sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik
selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun sebagai makhluk Tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal
yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain.
Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem
sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Kebijakan ekonomi memiliki tujuan untuk
mensejahterakan rakyat dan harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang
lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak seperti selama orde baru
yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik ekonomi kerakyatan
lebih memberikan kesempatan, dukungan dan pengembangan ekonomi rakyat yang
mencakup koperasi, usaha kecil dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ekonomi kerakyatan akan mampu mengembangkan
program-program konkret pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian ekonomi kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
berekonomi sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
ekonomi kerakyatan, pemerintah pusat ( negara ) yang demokratis berperan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.
Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan
menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus
mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan
bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan,
penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Ekonomi pancasila juga memiliki
arti bahwa pihak swasta yang bisa mandiri dilindungi hak-haknya untuk
mengembangkan usahanya, sedangkan untuk pihak-pihak yang masih belum bisa
mengembangkan usahanya akan dibantu oleh pemerintah dalam mengembangkan
usahanya
Peran pancasila sebagai paradigma pembangunan
sosial-budaya di Lingkungan
Kampus
Pendidikan hakekatnya
sebagai upaya sadar dari masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin
kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya selaku warga masyarakat,
bangsa dalam Negara, secara berguna dan
bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan dengan dinamika perubahannya
karena adanya pengaruh global.
Untuk menjawab itu dibutuhkan
pembekuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai budaya
bangsa yang dapat menjadi pedoman
hidup warga Negara.
Keanekaragaman suku,
adapt-istiadat, dan agama serta berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan
alamnya, memungkinkan untuk terjadi
keanekaragaman kehendak dalam kehidupan kampus karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit, yang akhirnya
dapat terjadi konflik yang negative, oleh karena itu dalam pendidikan di
lingkungan Perguruan Tinggi dibutuhkan alat perekat antar mahasiswa dengan adanya kesamaan
cara pandang tentang misi dan
visi yang ada di lingkungan kampus.
Dengan adanya Pancasila dapat dijadikan sebagai suatu elemen mampu menahan emosi dari banyaknya
perbedaaan kebudayaan di lingkungan kampus. Agar dapat mewujudkan kehidupan
yang demokratis, aman, tentram,
nyaman, dan adil di lingkungan kampus.
Faktor utama Pancasila mesti dipertahankan karena sejak lama konsep
Soekarno-Hatta ini telah teruji sebagai faktor pemersatu bangsa. "Bangsa
kita ini sangat beragam, mulai agama, suku, hingga golongan.
Perguruan Tinggi adalah
suatu komunitas ilmiah. Suatu komunitas yang memiliki karakteristik akademik.
Disinilah tempat dimana produk intelektual dilahirkan, dikembangkan dan
diimplementasikan. Dengan kata lain perguruan tinggi merupakan laboratorium bagi masyarakat,
yang memberikan kontribusi bagi
terciptanya proses pemberdayaan berfikir sesuai dengan khasanah ilmu dan
kapasitas yang dimiliki untuk
dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Esensi peran dan fungsi
perguruan tinggi tersebut tertuang kedalam pola orientasi yang menjadi bagian dari
kegiatan akademik atau yang biasa dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi
(Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian). Berbicara tentang pendidikan, maka perguruan
tinggi bukan hanya menciptakan suatu
mekanisme kegiatan belajar-mengajar secara formal saja. Tetapi ia juga
harus mampu menumbuh-kembangkan
nilai di dalam pendidikan. Nilai yang dimaksud itu adalah bahwa di dalam pendidikan – terdapat
budaya dan etika yang harus dipegang. Karena pendidikan hanya diperuntukkan bagi
kemaslahatan umat manusia. Dalam konteks
secara ilmiah dan dianalisa secara kontekstual agar bermanfaat bagi
individu, masyarakat bangsa
dan negara.
Sebagai komunitas
ilmiah, Perguruan Tinggi harus mampu membangun responsibilitas yang bersifat konseptual
dan solutif tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan situasi-kondisi yang berkembang ditengah masyarakat.
Dengan demikian perguruan
tinggi menjadi media/ sarana yang mampu mentransformasikan relevansitas perkembangan ilmu pengetahuan
dalam berbagai kapasitasnya sesuai
dengan dinamika dan perkembangan zaman. Termasuk bagaimana merespons perkembangan zaman yang saat ini
sudah berdimensi global.
Berkaitan dengan itu
maka sesuai dengan amanat UUD 1945, Tap MPR No. II/MPR/1993 dinyatakan bahwa :
Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan
untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat
Indonesia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri sehingga mampu
membangun dirinya dan
masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Penyelenggaraan Pendidikan
nasional harus mampu meningkatkan,
memperluas dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila
serta membudayakan nilai-nilai
Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap masyarakat. Lebih jauh ketetapan
MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 hasil Sidang
Istimewa MPR 1998 menegaskan bahwa Pancasila sudah tidak menjadi
satu-satunya azas, Pancasila
telah menjadi sebuah ideologi terbuka yang dikaji dan dikembangkan berdasarkan kultur dan kepribadian
bangsa. Ketetapan MPR menyebutkan bahwa
kurikulum dan isi pendidikan yang memuat Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan terus ditingkatkan dan dikembangkan disemua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
nasional. Itu berarti Pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi harus terus
menerus ditingkatkan ketepatan materi instruksionalnya, dikembangkan kecocokan metodologi
pengajarannya, di-efisien dan di-efektifkan manajemen lingkungan belajarnya.
Dengan kata lain perguruan tinggi memiliki peran dan tugas untuk mengkaji dan memberikan
pengetahuan kepada semua mahasiswa
untuk benar-benar mampu memahami Pancasila secara ilmiah dan obyektif.
Disamping itu, kalau ditilik
kembali secara yuridis formal, perkuliahan Pendidikan Pancasila di Perguruan
Tinggi, juga tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
nasional. Pasal 39 dalam undang-undang
tersebut menegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang
pendidikan, wajib memuat pendidikan
Pancasila, pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan Agama. Demikian juga di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 13 (ayat 2)
ditetapkan bahwa kurikulum yang berlaku secara nasional diatur oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Secara lebih rinci perkuliahan Pancasila diatur dalam
surat keputusan Dirjen Dikti RI No.
467/DIKTI/KEP/1999 yang merupakan penyempurnaan dari keputusan Dirjen
DIKTI No. 356/DIKTI/KEP/1995. Dalam
Surat Keputusan Dirjen DIKTI No. 467/DIKTI/KEP/ 1999 tersebut dijelaskan pada
pasal 1 bahwa mata kuliah pendidikan
Pancasila yang mencakup filsafat Pancasila merupakan salah satu komponen
yang tidak dapat dipisahkan
dari kelompok mata kuliah umum dalam suatu susunan kurikulum inti perguruan tinggi. Pasal 2
menjelaskan bahwa mata kuliah pendidikan
Pancasila adalah mata kuliah wajib untuk diambil oleh setiap mahasiswa
pada perguruan tinggi untuk program
Diploma dan program Sarjana. Sementara pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan
Pancasila dirancang untuk memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang Pancasila
sebagai filsafat/ tata nilai bangsa, sebagai dasar negara dan ideologi nasional dengan
segala implikasinya.
Dari paradigma
pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua
mata kuliah itu memiliki nilai fundamental bagi sistem pendidikan nasional
secara komprehensif. Namun demikian apapun dan dalam bentuk apapun sebuah konsep
ideal, ia harus berevolusi dan berkorelasi dengan iklim dan situasi yang berkembang –
termasuk di dalamnya adalah mengenai
intepretasi, sehingga terlihat adanya kausalitas antara idealitas dengan
realitas. Dalam konteks yang
demikian itu, seperti yang sudah dijelaskan di awal tulisan ini, pendidikan Pancasila dan pendidikan
Kewarganegaraan dalam pelaksanaannya
memang pernah mengalami homogenitas intepretasi dan manipulasi politik
sesuai dengan selera dan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi
negara Pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan seperti itu, Pancasila
tidak lagi dikatakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara
Indonesia, melainkan direduksi, dibatasi dan
dimanipulasi demi kepentingan penguasa pada saat itu. Sekarang-pun
ketika iklim demokratisasi dan demokrasi telah terbuka – yang ditandai dengan
jatuhnya rezim Soeharto, sebagian
masyarakat mengulangi sejarah yang sama dengan mengintepretasikan Pancasila secara
subyektif. Berbicara tentang Pancasila, maka identik dengan Orde Baru – Golkar
dan Soeharto. Begitu halnya dengan ketika kita membicarakan mata kuliah Kewiraan
(baca : Kewarganegaraan), dibenak sebagian masyarakat yang melekat adalah
gambaran rezim militer dengan segala konsekwensi perilaku di masa lalunya yang menakutkan dan
membuat trauma masyarakat.
Melihat stigma berfikir
masyarakat yang seperti itu seharusnya Perguruan Tinggi bertanggung jawab untuk mencoba
meluruskan sekaligus mendudukkan
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam level yang
lebih ilmiah dan obyektif. Bukan malah mengikuti arus persepsi salah sebagian
masyarakat dengan meredusir
atau bahkan menegasikan nilai substansial Pancasila dan Kewarganegaraan di mata publik, khususnya civitas
akademika.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik
karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu
sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan
harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab.
Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat
mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human.
Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan
sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan
sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara
negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar
tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh
komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya,
serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan
sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban
warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan
nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak
dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan
negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk
menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
No.5
Bintang.
1. Bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia
percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap
hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan
hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
5. Agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi
manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap
saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Rantai.
1. Mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan
derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap
saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap
tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela
kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia
merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.
Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Pohon Beringin.
1. Mampu menempatkan
persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2. Sanggup dan rela
berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3. Mengembangkan rasa
cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa
kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan
Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan
demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Kepala Banteng
1. Sebagai warga negara
dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan
kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4. Musyawarah untuk
mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan
menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6. Dengan iktikad baik
dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah
diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan
dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil
harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan
keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.
Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.
Padi Dan Kapas.
1. Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap
adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
4. Tidak menggunakan hak
milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
5. Tidak menggunakan hak
milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
6. Tidak menggunakan hak
milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
7. Suka bekerja keras.
8. Suka menghargai hasil
karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
9. Suka melakukan
kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
10.
Menghormati hak orang lain.
11.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.